Senin, 05 Oktober 2009

Radio Wayang dan Aku

ROMBONGAN circus membawaku pergi jauh mengelilingi benua demi benua, negeri demi negeri, dan mimpi demi mimpi. Kedekatanku dengan Luna perempuan paling sabar yang ada dalam rombongan kami adalah sebuah keajaiban, selain orangnya yang memang cantik ia memiliki satu kebiasaan yang sederhana tapi merupakan simbol kesetiaan, yaitu ia selalu membawa radio dua band peninggalan ayahnya.kelak aku ingin mengawininya dan menjadikannya ibu dari anak-anakku.
Aku sempat bertanya tentang kenapa ia selalu setia membawa serta radio itu kemana saja ia pergi, dalam pengamatanku sepertinya radio itu adalah separuh nafas dari janji hidupnya yang ia tetap jaga abadi sampai selamanya. Membawa serta radio itu adalah membawa serta kedamaian tanpa ujung batas waktu ataupun apa saja sampai akhir hidup, karena bagiku hidup ini adalah sementara sekarang atau nanti kita mau tidak mau akan pergi.
Berikut petikan obrolan saya dengannya, Luna Adi Prawira dialah perempuan yang selalu mengajarkan aku tentang arti makna kasih sayang juga tentang makna kesetiaan.
“Luna, senyum kamu itu senyum yang sangat manis, kalau aku ibaratkan senyuman kamu itu jauh lebih abadi dari senyuman monalisa”.
“Ah biasa saja kali”.
“Tidaklah, dari senyummu itu aku membayangkan bulan dan bintang sujud padamu”
“Please deh jangan berlebihan ah”
“Ini serius Luna aku pun pernah merasakanya, aku pernah dituduh sebagai pecinta sesama jenis atau gay hanya karena aku sering tersenyum pada siapa saja”
“Ih sadis banget ya yang nuduh kamu gay itu, pasti ia seseorang yang sedang tidak bahagia dalam hidupnya”
“Ah gak juga sih, diakhir olok-olokan dia padaku dia bilang bercanda satu hal yang lain mungkin karena dia juga tidak tahu bahwa aku memiliki kekasih perempuan, dia tidak tahu bahwa aku normal karena setiap menatap bola mata perempuan aku selalu merasakan ada dunia teduh yang ingin aku masuki, untuk bisa aku berbagi cerita akan derita dan apa saja yang aku rasakan”
“Oh, pasti orang itu cinta sama kamu Cuma dia malu untuk mengungkapkannya”.
“Hahahahaha.bisa jadi tapi apakah perempuan itu berani mengungkapkan terlebih dahulu rasa cintanya padaku, malah aku tidak yakin karena di hatinya masih tetap merasa bahwa rasa cinta seorang laki-lakilah yang lebih dulu harus diungkapkan kepada wanita bukan sebaliknya”.
“Wah itu pemikiran dulu, pemikiran zaman sekarang sah-sah saja kalau perempuan duluan yang mengungkapkan rasa cintanya terhadap laki-laki”.
“Belum tentu juga sih, aku hanya merasa teduh jika engkau masih tersenyum dan senyum itu engkau berikan terhadap siapa saja”.
“Mudah-mudahan ya aku belum bisa janji”.
Obrolan tentang senyum itu terus melebar, sampai aku lupa bahwa obrolan tentang senyum itu telah dibahas lebih dari dua jam lamanya, waktu yang dirasakan terlalu cepat untuk dirasakan bersama Luna Adi Prawira, perempuan dengan kalung radio dua band peninggalan ayahnya.Perempuan dengan senyum sempurna dalam hidupku. Perempuan yang paling mengerti tentang apa yang sedang aku inginkan.
***
AKU kembali teringat bahwa aku harus bertanya kenapa radio dua band itu menjadi radio yang ia jadikan sebagai kalung. Bahkan lebih dari itu aku merasakan bahwa radio itu jauh lebih berarti dari hidupnya.
“Luna kalau aku bertanya sesuatu yang pribadi padamu apakah aku salah dan kamu akan keberatan dengan pertanyaanku ini?”.
Luna tersenyum, pipinya sedikit memerah beberapa kali ia menghembuskan nafas yang cukup berat.
“Tanyakan saja padaku apa dan semua pertanyaan yang ingin kamu tanyakan padaku, aku akan berusaha menjawabnya dengan jujur”.
“Kamu mau tidak kalau aku belikan kamu kalung, agar kalung radio dua band itu tidak lagi ada di lehermu, aku rasa kamu kurang pas mengenakannya”.
Luna kembali tersenyum, ia masih sempat memegang beberapa kali kalung radio dua bandnya itu.
“Sampai akhir umurku aku sudah berjanji untuk tidak melepaskan kalung radio ini, memakainya adalah kabar bahwa bara di dada dan hati ini masih menyala bagi ayahku tercinta”.
“Artinya satu pertanyaanku tadi salah ya?”.
“Tidak, kamu tidaklah salah, kamu adalah orang kesekian yang menginginkan aku melepaskannya, melepaskan radio dua band ini”.
“Oh, benar begitu?”
“Iya, karena aku punya alasan untuk tidak melepaskan kalung ini”
“Oh apakah aku boleh tahu alasan hingga kamu merasa tidak perlu melepaskan kalung radio itu”.
Luna semakin erat memegang kalung radio itu ada yang ingin ia sampaikan tanpa kesal dan marah ia menuturkan alasannya tentang kenapa kalung radio itu tidak akan ia lepaskan.
“setiap malam minggu ayahku sedari masa mudanya gemar akan wayang dan sedari muda itu pula ia mendengarkannya lewat radio, dan radio itu ia jaga senantiasa radio itu adalah radio yang aku kenakan sebagai kalung ini”.
“Lah hubungannya dengan kamu mengenakannya sebagai kalung”
“Menjelang akhir hayatnya ayahku frustasi karena kedua telinganya tidak lagi bisa mendengar”.
“Terus hubungannya dengan wayang dan radio?”
“Karena telinganya tidak bisa mendengar itulah ayah memotong satu persatu jari tangannya, dari tangan yang kiri hingga jari tangannya yang kanan pun ia perlakukan sama”.
“Lah apa iya tidak merasakan sakit?”
“Sebagai manusia normal tentu merasakan sakit, sakitnya kurang lebih sama seperti kamu pernah dituduh gay, tapi rasa yang ayah rasakan lebih sakit ketika ia tidak lagi bisa mendengar wayang yang biasa ia dengar di radio ini sejak ia masih muda dulu”.
“Oh, terus dimana ayah kamu sekarang?”
“Ayahku sekarang sudah meninggal, sebelum ia meninggal jari-jari diseluruh kakinya pun sudah tidak ada lagi semuanya”.
“maafkan aku sekali lagi Luna, aku tidak bermaksud merendahkanmu”.
“Tidak apa-apa, aku harap semoga kamu juga memaafkan orang yang menuduh kamu gay itu, bisakan?”
“Semoga, aku bisa memaafkannya”.
Percakapan kami menjadi seperti percakapan yang abadi, percakapan yang mungkin tetap akan mengendap di dalam hati.***

Dbest mall,blok B 31.2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar