Senin, 05 Oktober 2009

Adinda

Oleh: Mohamad Romalis


LAUT masih diwarnai deburan ombak yang berkali-kali menghantam karang, semua tampak tenang seakan-akan tak terlihat sedikitpun kecemasan yang harus bisa termiliki untuk dimiliki sebagai rasa takut, gelombang seakan dengan mudah dan begitu saja meninggalkan gulungannya di punggung dan bibir pantai, sedangkan aku kini tak lagi bisa memastikan kapan tiba waktunya agar aku bisa temukan cintaku. Cinta yang bisa aku banggakan pada ombak, cinta yang juga aku bisa banggakan pada keras karang, dan cinta yang bisa aku banggakan pada kapal-kapal yang berlabuh atau pada nelayan-nelayan yang datang sehabis melaut.
Semua terjaga bahkan selalu siap siaga, tak lagi peduli serta menghiraukan titik didih kesabaran yang semakin bergolak hanya untuk sekedar merasakan simfoni cinta yang bisa tercipta. Sebagai penyerahan hidup dan mati. Cinta sepertinya hanya air mata, berkali-kali sunyi dan sepi setia berbondong mengarak wujudnya sangat akrab, oleh karenanya sistem kekebalan tubuhku seakan telah imun untuk selalu menerima kekalahan cinta dan kekalahan demi kekalahan itu sendiri telah menumpuk menjadi banyak episode kegagalan. Episode yang terus akan aku jalani.
Dari sunyi yang hadir di luar pekarangan depan rumahku bunga kamboja berguguran jatuh ke bumi— Zo Markozo ingin sekali menjadi malaikat ingatnya. Lalu sebagai orang tua yang tidak pernah tahu keinginan anaknya, anggaplah itu adalah sebuah keinginan yang masuk akal. Lelaki tua itu hanya mengelus dada tentang kenapa anaknya itu punya keinginan pengen jadi malaikat. Tapi sebagai orang tua yang tidak ingin melukai perasaan seorang anak hanya bisa membiarkan segala ingin dan segala cita-cita anaknya karena dia tahu anaknya tidak akan mungkin bisa jadi malaikat.
***

TUBUH-TUBUH penuh semangat baja, tubuh-tubuh penuh peluh dan basah asin keringat yang telah bercampur dengan air laut semakin larut menepiskan hidup yang selalu saja tak pernah lepas dari kemiskinan. Setiap mereka bongkar hasil tangkapan dari laut selalu saja terpancar senyum juga pengharapan tak ingin berpisah, hal ini biasanyanya ditandai dengan setianya anak-anak dan istri mereka menunggu, mengharap datang sang lelaki pujaan dengan tangkapan banyak, lelaki sebagai ayah dari anak-anak dengan kebiasaan mandi dan berenang-renang di laut. Di dada anak dan istrinya baluran doa-doa tak pernah habis. Oh sungguh aku takjub.
Pada sebuah pesta laut atau sebagian orang di kampungku biasa menyebutnya Nadran, tepat di dermaga tua ini aku pernah bertemu dengan seorang perempuan cantik, di dermaga inilah aku melihatnya sangat berbeda dan khas, perempuan yang aku maksudkan tadi dalam pemikiranku sempat aku yakini sebagai salah satu penjelmaan malaikat, mungkin. Kehadirannya mengobsesiku untuk tetap menjaga cita-citaku untuk bisa jadi malaikat. Perempuan itu pula yang akhirnya membuat aku tidak pernah bisa berpaling untuk memilih cinta yang lain. Kesuraman hati tak ada lagi.
Semua yang ada padanya sanggup menyihir puncak-puncak gelisahku, ia pernah tanpa kusadari dari arah mana dia datang tiba-tiba saja menghampiriku dan menyapaku, sungguh aku tak pernah menyangkanya. Singkat kata aku berdua telah larut dengan obrolan panjang, obolan yang kerap aku rindukan karena aku yakin siapa pun akan sangat senang jika-sudah bercakap-cakap dengan nya. Aku akan senantiasa menunggunya disini ya aku yakin dengan menunggunya di dermaga tua ini ia akan kembali datang dengan kereta kencananya.
“ Nama kamu siapa.?”
“ Adinda.”
“ Rumah kamu dimana.?”
“ Rumahku di balik dasar laut.”
“ Jangan bercanda ah, aku nggak percaya masa perempuan secantik kamu rumahnya di balik dasar laut.”
“ Serius, rumahku itu di balik dasar laut.”
“ Kalau rumah kamu di balik dasar laut, aku nggak bisa main ke rumah kamu dong.”
“ Ya kalau itu belum bisa kamu lakukan, kamu nggak usah kecewa, biar aku aja yang main ke tempat kamu.”
“ Hehehe, emang kamu tahu tinggal aku dimana.?”
“ Nggak tahu.!”
“ Cari tahu dong.”
“ Di hatiku, aku hanya tahu bahwa tempat tinggal kamu mungkin di sekitar kampung sini.”
“ Iya, tapi kamu kan belum tahu di mana tempat aku sebenarnya.”
“ Dalam tajam matamu aku hanya menangkap sedikit isyarat.”
“ Isyarat.?”
“ Iya, isyarat.”
“ Isyarat tentang apa.?”
“ Isyarat tentang seorang laki-laki.”
“ Oh, laki-laki?, bagaimana kamu tahu isayarat laki-laki sedangkan kamu perempuan.?”
“ Ya justru karena aku perempuan makanya aku tahu isyarat itu. Dan itu yang ingin aku ungkapkan padamu.”
“ Apa omongan kamu bisa aku percaya.?”
“ Aku tidak pernah memaksa semua orang untuk percaya omonganku, tapi untuk kamu aku harus meyakinkan bahwa omonganku benar, sehingga tidak ada alasan untuk kamu tidak mempercayai aku.”
“ Jujur apa main-main.?”
“ Hatiku mulai merasakan yang lain dari kamu.”
“ Masih tentang isyarat.? “
“ Pasti, dalam tajam matamu pula aku masih melihat Isayarat yang jarang dimiliki oleh laki-laki.”
“ Tentang apa.?”
“ Kamu tuh ya, kenapa sih enggak terbuka aja.”
“ Terbuka tentang apa.?”
“ Sampai kapan kamu tetap bercita-cita ingin bisa jadi malaikat.?”
“ Sampai aku mampu jadi malaikat.”
“ Apa kamu yakin bisa jadi malaikat.?”
“ Masih aku coba sih.”
“ Apa pentingnya kamu pengen jadi malaikat.?”
“ Tergantung prioritas.”
“ Apa jadi malaikat, di hati dan otak kamu adalah sebuah prioritas.?”
“ Itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.”
“ Berarti kamu tidak punya obsesi lain dan hanya ingin menjadi malaikat.”
“ Aku juga ingin menjadi penulis.”
“ Penyair.?”
“ Bener, meski mungkin faktor romantis sangat jauh dari aku.”
“ Enggak ah, buat aku kamu romantis.”
“ Aku hanya ingin mewarnai hidup ini dengan sesuatu yang bener.”
“ Kamu tulis aku dalam puisi kamu.”
“ Tentu.”
“ Apa yang bisa kamu tulis dari aku.?”
“ Aku hanya menulis kamu dengan laut.”
“ Waduh kok aku dengan laut.”
“ Tentu, aku belum bisa banyak cerita soalnya masih banyak yang harus aku selesaikan lagi agar ceritanya lebih jujur bukan fiksi.”
“ Oh selera kita sama yah, kita sama-sama tidak doyan fiksi.”
“ Itu hanya salah satu pilihan saja, bukan berarti aku juga tidak terlalu suka sama yang fiksi-fiksi.”
“ Berati menurut kamu tidak selamanya yang Fiksi itu fiksi yang sesungguhnya fiksi.?”
“ Anggaplah seperti itu.”
“ Enak ya jadi penulis.?”
“ Aku belum berani bilang itu enak, aku takut.”
“ Kenapa Takut.?”
“ Semua yang aku tulis hanya persoalan yang tidak terlalu penting.”
“ Tapi mungkin bagi sebagian orang yang lain itu bisa jadi sangat penting.”
“ Mungkin, ini sangat penting khususnya buat ibuku.”
“ Loh, kenapa dengan ibu kamu.?”
“ Ibu aku ingin aku jadi penulis.”
“ Semoga ibu kamu senang melihat kamu sekarang.”
“ Semoga.”
“ Aku yakin kalau kamu bisa membahagiakan ibu kamu dengan kamu jadi penulis.”
“ Persoalannya sangat sulit sekarang.”
“ Kenapa sulit kan kamu sudah bisa jadi apa yang diinginkan oleh ibu kamu.”
“ Aku kehilangan ibuku.”
“ Ibu kamu hilang dimana.?”
“ Katanya sih beliau tenggelam di laut.”
“ Masa.?”
“ Iya. Tolong ya kalau kamu ketemu dengan perempuan yang wajahnya mirip dengan aku itu adalah ibuku.”
“ Apa ciri-ciri khusus ibu kamu.?”
“ Ibuku, tangannya sangat halus, kulitnya putih bersih, dan ia memiliki dua bola mata yang indah.”
“ Apa warna rambutnya.?”
“ Hitam.”
“ Siapa nama ibu kamu.”
“ Aryati.”
“Loh kok sama dengan nama ibuku.”
“ Kamu bawa photonya.?”
“ iya.”
Ternyata perempuan yang sedang dalam percakapan mereka adalah perempuan yang sama. Perempuan yang telah menjadi ibu mereka. Perempuan yang tangannya halus, perempuan dengan kulit putih bersih dan perempuan yang pastinya memiliki dua bola mata yang indah. Aku juga tidak mau lupa bahwa perempuan itu juga memiliki rambut yang sangat bagus karena hitam warnanya.perempuan itu pernah muncul dari dasar laut terdalam.


Bintaro, Januari 2009

Sungguh Aku Jatuh Cinta Padamu

Oleh:Mohamad Romalis

SEBUAH musim telah membawaku seperti berlari, kadang terbang riuh rendah lalu terbang tinggi lagi melewati berbagai peristiwa. Ada banyak tanya yang tak pernah bisa aku tuntaskan sebab aku tak pernah memiliki jawaban yang diharapkan dari tanya-tanya itu. Meski demikian kecemasan sedikitpun tak pernah hilang. Sekarang tanganku sedang berada dalam genggaman seorang peri, peri yang akan terus membawaku ke sagala keindahan yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya.
“Kemana kita akan pergi wahai peri?.”
“Aku akan membawamu kemusim yang teduh”.
“Apa aku bisa ketempat yang akan kamu tuju itu?.”
“Ya kenapa enggak?, di sana kamu akan dijauhkan dari tangis dan perih.”
“Oh begitu.”
“He eh Ya begitu.”
“Apa di sana aku bisa bertemu dengan penyair atau para penulis ?.”
“Tentu bisa dong, di sana kamu tetap bisa bertemu dengan siapa saja.”
“Eh peri apa di sana ada Chocolate?.”
“Tentu, yang jelas di sana kamu akan dapat banyak Chocolate.”
“Kok aku jadi kayak anak kecil yah.”
“Siapa yang bilang begitu?”
“Ngak ada yang bilang gitu”.
“Berarti itu hanya perasaan kamu saja aku tak pernah bilang begitu.”
“Jangan tinggalan aku ya kalau aku sudah sampai di tempat yang akan kamu tuju”.
“Kamu gak usah takut.”
“Tapi aku takut kalau nanti kamu tinggalin aku sendirian, aku ingin bahagia, masih adakah bahagia untuk hidupku.”
“Tenang.”
“ Bagaimana aku bisa tenang kalau aku dalam rasa takut.”
“T-E-N-A-N-G aja karena aku juga sama kayak kamu.”
“Kok sama dengan aku gimana bisa, berarti kamu juga takut.”
“ Iya aku sangat takut sekali, aku takut kehilangan kamu.”
“Kamu sama kayak aku dan barusan kamu bilang kamu takut kehilangan aku.”
Rambut peri, pakaian yang dikenakan termasuk aku juga seluruhnya tersibak oleh angin dengan sangat kerasnya, kali ini aku berdua peri seperti telah mau sampai di sebuah tempat yang dijanjikan olehnya. Sesaat kemudian angin telah reda, ada matahari tapi tak terasa panas, semuanya berkilau seperti star batu permata atau intan berlian.
Rahasia yang tak pernah aku temukan sebelumnya kini aku nikmati sebuah rasa dalam rasa perasaan dengan sejuta rasa mulai memanjakanku sampai pada akhirnya aku tidak yakin bahwa aku bisa sampai masuk kesebuah negeri tanpa aroma kematian, mungkin julukan itu layak aku namakan karena di sini semuanya tampak selaras dan tak sedikitpun aku menemukan irama dendam.
***

BERBAGAI rasa berganti aku telah jauh meninggalkan sunyi yang selama ini terus mewarnai hidupku, satu persatu aku mulai tahu bahwa apa yang semua ingin berikan padaku mulai menjadi sebuah kenyataan yang sungguh sangat ajaib dan penuh arti. Setiap apa yang ia ucapkan padaku semuanya akan ada yang menyediakannya. Semuanya jadi seperti cerita tentang surga dalam kitab-kitab yang aku yakini di sini tidak ada orang yang tua, di sini tidak ada orang yang merana, di sini tidak ada dendam dan kebencian di sini tidak ada hal yang diharapkan tidak ada.
Aku pun sudah tidak ingat lagi bahwa akhir-akhir ini berita dari koran, radio dan televisi kerap menyajikan berita tentang pembantaian kaum tertentu di daerah perbatasaan Gaza, aku tidak lagi ingat bahwa harga BBM telah naik, aku tidak juga tahu bahwa banjir telah kerap mewarnai sebagian besar negeriku tercinta. Aku juga sudah tidak lagi ingat bahwa sudah lebih dari tiga tahun lamanya perempuan yang ingin aku jadikan tempatku berbagi, telah menghianatiku dengan lebih memilih lelaki lain sebagai tempatnya berteduh, oh sungguh aku sudah tidak lagi tahu segalanya.
Sungguh tempat dimana peri membawaku sangat lain dengan yang lain. Di sini hanya ada cinta dan cinta yang terus aku terima dan terus selalu saja penuh nyanyian bagai pelangi sehabis hujan reda, semua penuh warna-warni penuh dengan kenangan, penuh dengan Chocolate penuh dengan penyair yang hanya menuliskan syair-syair cinta yang terus memuja sang pemilik cinta yang lebih kekal dan abadi.
Peri pernah secara tegas dan fasih mengatakan bahwa siapapun boleh dan bisa ikut dengannya, ikut ke sebuah tempat yang seluruhnya disajikan untuk siapa saja yang datang. Siapa yang datang kata peri adalah hanya orang dengan ketulusan hati dan hanya orang yang hormat dan santun terhadap kedua orang tuanya khususnya ibu. Atas nama cinta aku bawa kamu ke tempat ini, tempat yang awalnya ada hanya untuk ibu.
“Peri, apa aku bisa tau dimana ibu kamu tinggal.?”
“Ibuku sekarang hanya ada dalam kenangan hatiku.”
“Kok bisa. Kamu tidak sedang bercandakan.?”
“Iya, ibuku dekat tapi jauh, kalau aku bilang jauh juga kamu nggak akan percaya meski demikian ia bagiku tetap selalu dekat. Dekat banget.”
“Apa aku bisa ketemu ibu kamu, sungguh aku ingin kenal sama ibumu, lalu kalau perlu aku ingin sekali memintanya untuk mendongengkan sebuah cerita yang aku hanya ingin cerita itu keluar dari mulutnya. Apa aku boleh memintanya ia bercerita hanya untukku.”
“Kenapa harus ibuku yang mendongeng untukku.?”
“Iya, karena ibuku telah pergi entah kemana, tanpa pernah aku tahu alasan yang pasti kenapa ia pergi meninggalkan aku. Sebelum kamu datang dalam hidupku, aku adalah kesunyian yang betul-betul sunyi.”
“Jangan gitu ah, aku nanti ikut sedih kalau kamu sedih, aku nggak ingin kamu sedih.”
“Apa di matamu aku terlihat sedih.?”
“ Iya. Boleh dong aku ngomong jujur.”
“ Hahahahahaha----“
“`Kenapa kamu tertawa.”
“Nggak apa-apa, ternyata kita sama.”
“Maksud kamu.?”
“ Semoga kamu bisa terbiasa dengan kesunyian yang betul-betul sunyi itu.”
“ Kesunyian itu sudah terlalu lama menghujam.”
“ Oh, ibuku tidak mungkin bisa ketemu kamu.”
“ Sedih banget, padahal aku ingin ngobrol banget.”
“ Ibuku sudah pergi untuk selama-lamanya.”
“ Ternyata kita sama, kita adalah orang yang telah bersenyawa dengan sunyi.”
“ Tapi sunyi tak pernah salah meskipun ia kerap menjadi milik kita.”
“ Bener, makanya sampai kapan pun aku tak pernah menyesali seluruh kesedihanku.”
Peri telah semakin yakin mengajakku kebanyak tempat yang sangat penuh rahasia tempat dimana awan-awannya membungkus hatiku yang sudah lupa akan kesedihan dan kesunyian.
***


SEMAKIN tinggi, semakin jauh, semakin tak terjangkau oleh duka aku dibawanya pergi, entah sampai kapan sungguh aku sangat suka dan tak pernah bosan mengikuti kemana langkah dan arah peri tertuju.
“ Kenapa kamu menatap aku sangat dalam peri.”
“ Nggak apa-apa, aku suka melakukan itu padamu.”
“ Aku pun sama, aku mulai suka dengan lingkar matamu, di matamu aku hidup.”
“Aku ingin kamu menjadi milikku seutuhnya.”
“ Apakah itu sama artinya bahwa kamu cinta aku.?”
“ Buatku bisa lebih dari itu.”
“ Maksudnya.?”
“ Ya buat aku mencintaimu adalah mencintai hidup dan kehidupan.”
“ Sumpah aku ingin sampaikan itu ke matamu.”
“ Bagaimana mungkin.?”
“ Jangan sangsi yakinlah bahwa hidup dan matiku hanya untukmu, bolehkan aku membisikkan sesuatu ke telinga kamu.?”
“ Mau membisikkan apa.?”
“ Tidak banyak yang ingin aku bisikkan, aku hanya ingin bilang dengan segenap ketulusanku, bahwa dari lubuk hatiku yang paling dalam sungguh aku jatuh cinta padamu.”
“ Apa.?”
“ Aku jatuh cinta padamu sejak aku mulai menatap matamu, matamu telah melumpuhkan jiwaku.”
Aku semakin tak bisa berpikir banyak dengan omongan yang baru keluar dari mulut peri, aku hanyut dalam deru angin yang terus membaluri sekujur tubuhku.Sekarang aku semakin tidak tahu entah ia akan membawaku kemana.

Jakarta, 2009

Luna, Permen dan Chocolate

Oleh: Mohamad Romalis

DI SUNYI yang kesekian, hatiku serupa permen karet yang sedang berada dalam mulutmu yang teduh dan engkau terus mengunyah permen karet itu. Diawali dengan bibir tipis, lalu masuk ke susunan gigi-gigi penuh cahaya juga lidah yang senantiasa sesekali terjulur jungkir balik bak pemain circus sebagai bahasa cinta bagi banyak kehidupan. Mungkin juga sepi dan kesunyian yang diam-diam bersanding dalam padu padan cinta menjelang musim hujan kembali hadir. Serangkaian musik jazz dari mulai Frank Sinatra hingga Jamie Cullum tetap dingin menghuni hati yang kerap dilanda sepi, itulah hatiku kini. Sepi yang selalu kau bilang hanya sekian persen, padahal sepi itu ada dan benar-benar hadir.
Jauh di luar dugaan tepat di sebuah sore yang dinanti tiba-tiba hujan turun membasahi tanah tempat silamor berpijak mengikuti kemana raga membawa jejak kaki juga hasrat penantian cintanya. Bertemankan anjing pudel dengan bulu warna coklat susu Silamor memandang hujan padat berjatuhan: sempurna membasahi rumah, membasahi gedung-gedung, membasahi anak-anak pengojek payung, membasahi teras cafe dan rintik hujan itu diam-diam mulai membasahi hatinya yang sangat kesepian demi sebuah penantian. Engkau menyebutnya nyanyian.
Silamor adalah lelaki dengan tingkat kesetian di atas rata-rata dan ia selalu menjaga kesetiaannya itu. Dikisahkan perempuan yang pernah mencintainya telah lama pergi entah kemana, tapi dengan segenap kesabarannya ia terus menunggu, menunggu dan menunggu meski dari beberapa kabar yang ia terima dari orang-orang terdekatnya, pacar yang ditunggunya itu sudah meninggal. Meski perempuan yang dimaksud ternyata disinyalir telah lama mati tidak lama saat ia bekerja di toko mainan karena siksaan sang majikan yang tak terdeteksi oleh apapun. Tapi Silamor adalah Silamor dia hanya akan percaya kalau pacarnya sudah mati jika ia sudah melihat mayat atau jasadnya, bahkan kalau pacarnya sudah dikubur minimal ia bisa melihat sebentuk pusara pacarnya itu ada.
***
SEORANG pelayan cafe menghampiri Silamor yang sedang duduk sendirian pada sebuah sore yang teduh.Sementara hujan masih berjatuhan. Anjing pudelnya terus bergerak lincah sambil tak letihnya menggonggong seperti membangunkan mimpi dalam tidur. Suaranya berloncat bagai spiderman dari satu gedung ke gedung lain bahkan mungkin tembus sampai ketempat paling sunyi sekalipun. Anjing inilah salah satu teman Silamor paling setia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
“Maaf pak Silamor apa bapak tidak takut dengan halilintar yang menyambar-nyambar dari luar sana?, kalau bapak tidak keberatan bapak bisa masuk ke dalam cafe kami” bujuk sang pelayan itu, tak lama berselang bibir tipisnya tersaji untuk silamor, hangat senyumnya juga menghinggapi sepi.
“Oh terima kasih biar saya disini saja, saya suka akan halilintar di luar sana”.
“Tapi di sini tampias air hujan juga bisa membasahi badan bapak, saya tidak ingin langganan saya jatuh sakit karena kena hujan”.
Silamor hanya terdiam disertai senyum simpul kecil dengan ajakan pelayan yang sudah diketahui bernama Luna sejak ia awal mula bekerja, sebuah nama dengan bordiran menempel di bagian dada kiri perempuan itu. Dalam hati Silamor hujan dan halilintar adalah teman setia sekaligus tempat yang sarat akan banyak cerita dalam bingkai kenangan.
“Kenapa bapak tersenyum, apa ada yang salah dengan omongan saya?, kalau saya salah saya lebih dulu meminta maaf”. Luna tertunduk.
“Kamu tidak perlu meminta maaf untuk sebuah ketidaktahuan yang buat saya itu bukan sebuah kesalahan, pertanyaan kamu adalah sebuah kewajaran”.
Silamor bangkit dari tempat duduknya, matanya menatap lurus ke arah luar cafe anjing pudelnya pun mulai mengikuti kemana saja Silamor berjalan dan bergerak. Begitu pun juga dengan Luna perempuan yang cukup sabar melayani setiap para pelanggan yang datang.
“Lihat Luna, lihat dengan matamu dalam-dalam di luar sana. Lihatlah dengan kejernihan hati yang kamu punya, gerimis itu sungguh manis terasa, gerimis itu selalu membawaku pada jalan fikiran beberapa tahun yang lalu, saat jalan fikiranku hanya aku peruntukkan bagi Sandra”.
“Iya pak, gerimis itu manis ya? Bahkan lebih manis dari gula rendah kalori, Sandra itu siapa pak?”
“Kamu jangan banyak bertanya dulu coba kamu rasakan cerita ini dengan seksama dan sunguh-sungguh. Di gerimis itu ada hidup yang terus merayapi denyut nadi, gerimis itu mulai menyentuh semua dan apa saja yang hidup juga semua dan apa saja yang mati”.
Luna mulai larut dengan ajakan Silamor yang sedikit demi sedikit mulai ia rasakan kebenaran omongan-omongannya.
“Benar pak, apa yang bapak katakan itu benar. Saya mulai melihat banyak permen berjatuhan dari gerimis di luar sana. Bahkan juga ada banyak chocolate, wah kenapa tidak dari dulu yah saya tahu bahwa gerimis itu manis rasanya”.
Silamor tersenyum, entah kenapa Luna juga seakan tidak mau pergi menemani silamor yang seakan telah memikat hatinya dan rasanya sangat sayang kalau harus ditinggalkan sendirian, Luna pun kadang juga ikut tersenyum. Silamor tiba-tiba menjelma seperti seorang yang sangat tak terduga kedatangannya dari negeri mana ia hadir Luna tidak mengetahuinya, Silamor dengan ceritanya tentang hujan telah mendapatkan tempat khusus dan tersendiri di hati Luna.
“Ayah saya telah menceraikan ibu saya sejak saya masih berumur satu tahun, perasaan saya sekarang sangat berbanding terbalik dengan saat itu. Saya tidak pernah tahu manisnya permen, saya tidak pernah tahu nikmatnya chocolate padahal setelah saya kenal bapak saya bisa dengan bebas merasakan manis gerimis melebihi manisnya permen bahkan permen yang paling saya anggap paling enak sekalipun juga nikmatnya chocolate”.
“Kok bisa kamu kurang makan permen dan chocolate?” tanya silamor.
“hehehe....harga permen menurut ibu saya sangatlah mahal jadi lebih penting jika uangnya dibeliin beras saja daripada dibeliin permen atau chocolate, sejak bapak pergi ibu hidup sendiri sampai sekarang ia belum mau menikah lagi”.
“Oh, sampai segitunya yah, aku tidak bisa membayangkan kalau di dunia ini tak ada gerimis?”
“Memangnya kenapa kalau tak ada gerimis?”
“Ya gak apa-apa cuma pastinya akan banyak orang yang kehilangan rasa akan permen juga chocolate jika gerimis tak turun dan tentunya hidup yang ia jalani pun sangatlah jauh dari kata bahagia”.
“Masa sih pak?, apa semua orang yang melihat gerimis bisa merasakan manisnya permen atau chocolate seperti beningnya air telaga damai?”
“Oh iya aku lupa, aku lupa mengatakan padamu Luna bahwa tidak semua orang yang melihat gerimis bisa merasakan manisnya permen serta nikmatnya chocolate”.
“Kok bisa tidak semua orang merasakan manisnya gerimis pak?”
“Iya hanya orang-orang yang berhati jujur saja yang bisa merasakan manisnya gerimis, sekarang aku baru tahu bahwa salah satu orang jujur yang terpilih itu adalah kamu Luna”.
Luna tak bisa ngomong apa-apa, tatapan mata Silamor menatap tajam ke arah bola mata Luna, Luna terus mengamati gerimis yang masih terus berjatuhan.
***
ADA banyak kata yang hilang saat Luna menatap gerimis yang telah berubah menjadi hujan yang sangat deras, badannya basah, begitu juga Silamor dan anjing pudelnya. Dalam hujan yang kian semakin lebat Luna ingat akan ibunya yang juga belum tahu akan enaknya permen juga chocolate, ia berlari meninggalkan cafe tempatnya bekerja sambil mengenggam permen dan chocolate yang ia punguti dari hujan yang semakin deras. Hujan dan air mata Luna menyatu menjadi satu.
Sementara Silamor kini sendiri lagi, Silamor adalah lelaki dengan tingkat kesetian yang di atas rata-rata ia terus menanti kekasihnya yang biasa ia panggil dengan sebutan Sandra, sambil berbisik di dalam hatinya Silamor tidak lupa bahwa Sandra juga senang dan suka akan permen juga chocolate dari hujan yang masih turun Silamor memungut beberapa permen dan chocolate yang akan ia simpan, kelak ia akan memberikan permen dan chocolate itu pada Sandra, kekasih hatinya.***

Cirebon, juli 2009

Radio Wayang dan Aku

ROMBONGAN circus membawaku pergi jauh mengelilingi benua demi benua, negeri demi negeri, dan mimpi demi mimpi. Kedekatanku dengan Luna perempuan paling sabar yang ada dalam rombongan kami adalah sebuah keajaiban, selain orangnya yang memang cantik ia memiliki satu kebiasaan yang sederhana tapi merupakan simbol kesetiaan, yaitu ia selalu membawa radio dua band peninggalan ayahnya.kelak aku ingin mengawininya dan menjadikannya ibu dari anak-anakku.
Aku sempat bertanya tentang kenapa ia selalu setia membawa serta radio itu kemana saja ia pergi, dalam pengamatanku sepertinya radio itu adalah separuh nafas dari janji hidupnya yang ia tetap jaga abadi sampai selamanya. Membawa serta radio itu adalah membawa serta kedamaian tanpa ujung batas waktu ataupun apa saja sampai akhir hidup, karena bagiku hidup ini adalah sementara sekarang atau nanti kita mau tidak mau akan pergi.
Berikut petikan obrolan saya dengannya, Luna Adi Prawira dialah perempuan yang selalu mengajarkan aku tentang arti makna kasih sayang juga tentang makna kesetiaan.
“Luna, senyum kamu itu senyum yang sangat manis, kalau aku ibaratkan senyuman kamu itu jauh lebih abadi dari senyuman monalisa”.
“Ah biasa saja kali”.
“Tidaklah, dari senyummu itu aku membayangkan bulan dan bintang sujud padamu”
“Please deh jangan berlebihan ah”
“Ini serius Luna aku pun pernah merasakanya, aku pernah dituduh sebagai pecinta sesama jenis atau gay hanya karena aku sering tersenyum pada siapa saja”
“Ih sadis banget ya yang nuduh kamu gay itu, pasti ia seseorang yang sedang tidak bahagia dalam hidupnya”
“Ah gak juga sih, diakhir olok-olokan dia padaku dia bilang bercanda satu hal yang lain mungkin karena dia juga tidak tahu bahwa aku memiliki kekasih perempuan, dia tidak tahu bahwa aku normal karena setiap menatap bola mata perempuan aku selalu merasakan ada dunia teduh yang ingin aku masuki, untuk bisa aku berbagi cerita akan derita dan apa saja yang aku rasakan”
“Oh, pasti orang itu cinta sama kamu Cuma dia malu untuk mengungkapkannya”.
“Hahahahaha.bisa jadi tapi apakah perempuan itu berani mengungkapkan terlebih dahulu rasa cintanya padaku, malah aku tidak yakin karena di hatinya masih tetap merasa bahwa rasa cinta seorang laki-lakilah yang lebih dulu harus diungkapkan kepada wanita bukan sebaliknya”.
“Wah itu pemikiran dulu, pemikiran zaman sekarang sah-sah saja kalau perempuan duluan yang mengungkapkan rasa cintanya terhadap laki-laki”.
“Belum tentu juga sih, aku hanya merasa teduh jika engkau masih tersenyum dan senyum itu engkau berikan terhadap siapa saja”.
“Mudah-mudahan ya aku belum bisa janji”.
Obrolan tentang senyum itu terus melebar, sampai aku lupa bahwa obrolan tentang senyum itu telah dibahas lebih dari dua jam lamanya, waktu yang dirasakan terlalu cepat untuk dirasakan bersama Luna Adi Prawira, perempuan dengan kalung radio dua band peninggalan ayahnya.Perempuan dengan senyum sempurna dalam hidupku. Perempuan yang paling mengerti tentang apa yang sedang aku inginkan.
***
AKU kembali teringat bahwa aku harus bertanya kenapa radio dua band itu menjadi radio yang ia jadikan sebagai kalung. Bahkan lebih dari itu aku merasakan bahwa radio itu jauh lebih berarti dari hidupnya.
“Luna kalau aku bertanya sesuatu yang pribadi padamu apakah aku salah dan kamu akan keberatan dengan pertanyaanku ini?”.
Luna tersenyum, pipinya sedikit memerah beberapa kali ia menghembuskan nafas yang cukup berat.
“Tanyakan saja padaku apa dan semua pertanyaan yang ingin kamu tanyakan padaku, aku akan berusaha menjawabnya dengan jujur”.
“Kamu mau tidak kalau aku belikan kamu kalung, agar kalung radio dua band itu tidak lagi ada di lehermu, aku rasa kamu kurang pas mengenakannya”.
Luna kembali tersenyum, ia masih sempat memegang beberapa kali kalung radio dua bandnya itu.
“Sampai akhir umurku aku sudah berjanji untuk tidak melepaskan kalung radio ini, memakainya adalah kabar bahwa bara di dada dan hati ini masih menyala bagi ayahku tercinta”.
“Artinya satu pertanyaanku tadi salah ya?”.
“Tidak, kamu tidaklah salah, kamu adalah orang kesekian yang menginginkan aku melepaskannya, melepaskan radio dua band ini”.
“Oh, benar begitu?”
“Iya, karena aku punya alasan untuk tidak melepaskan kalung ini”
“Oh apakah aku boleh tahu alasan hingga kamu merasa tidak perlu melepaskan kalung radio itu”.
Luna semakin erat memegang kalung radio itu ada yang ingin ia sampaikan tanpa kesal dan marah ia menuturkan alasannya tentang kenapa kalung radio itu tidak akan ia lepaskan.
“setiap malam minggu ayahku sedari masa mudanya gemar akan wayang dan sedari muda itu pula ia mendengarkannya lewat radio, dan radio itu ia jaga senantiasa radio itu adalah radio yang aku kenakan sebagai kalung ini”.
“Lah hubungannya dengan kamu mengenakannya sebagai kalung”
“Menjelang akhir hayatnya ayahku frustasi karena kedua telinganya tidak lagi bisa mendengar”.
“Terus hubungannya dengan wayang dan radio?”
“Karena telinganya tidak bisa mendengar itulah ayah memotong satu persatu jari tangannya, dari tangan yang kiri hingga jari tangannya yang kanan pun ia perlakukan sama”.
“Lah apa iya tidak merasakan sakit?”
“Sebagai manusia normal tentu merasakan sakit, sakitnya kurang lebih sama seperti kamu pernah dituduh gay, tapi rasa yang ayah rasakan lebih sakit ketika ia tidak lagi bisa mendengar wayang yang biasa ia dengar di radio ini sejak ia masih muda dulu”.
“Oh, terus dimana ayah kamu sekarang?”
“Ayahku sekarang sudah meninggal, sebelum ia meninggal jari-jari diseluruh kakinya pun sudah tidak ada lagi semuanya”.
“maafkan aku sekali lagi Luna, aku tidak bermaksud merendahkanmu”.
“Tidak apa-apa, aku harap semoga kamu juga memaafkan orang yang menuduh kamu gay itu, bisakan?”
“Semoga, aku bisa memaafkannya”.
Percakapan kami menjadi seperti percakapan yang abadi, percakapan yang mungkin tetap akan mengendap di dalam hati.***

Dbest mall,blok B 31.2009

Memahami Arti Hidup

Oleh : Mohamad Romalis

PADA SISA SENYUMAN dan kenangan yang terbakar, maretta sesaat ingin memajamkan matanya namun sepertinya sejuta rasa yang dulu pernah ada kerap mengganggu pejam matanya walau hanya sedetikpun. Jiwanya sekarang tengah di penuhi oleh bayak perasaan tak menentu yang terus datang melintas. Gemercik suara air pancuran dari belakang rumahnya terus mengukir pedih yang sampai sekarang masih menjadi kenangan terburuk.
Percobaan perkosaan pernah didapatkannya dan yang membuat trauma itu tak pernah usai sampai saat ini adalah mahluk bejat itu tak lain adalah sang kakak ipar yang telah menjadikan kakaknya sebagai istrinya. Maretta tidak pernah berfikir kenapa itu semua bisa terjadi dan datang begitu saja menimpa dirinya meski akhirnya dengan teriakan yang disuarakan dari mulutnya ia berhasil lolos dari uji coba yang hampir saja membuatnya kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupnya.
Ayah maretta meninggal tertabrak kereta api saat iya melintas di lintasan kereta api yang tak berpalang atau tak berpenutup. Kepalanya terseret sampai lebih dari limaratus meter, seluruh anggota badanya rusak hancur dan tak lagi bisa tertata seluruh penduduk kampung tempat ia tinggal pernah membantu mencari kepala bapaknya setelah sehari semalam barulah diketemukan kepalanya di salah satu semak belukar dengan posisi mata yang menyeringai seakan ia merasakan satu sakit yang teramat sangat luar biasa.
Tak lama sesudah kejadian itu sekitar kurang dari empat puluh hari setelah kematian ayahnya, ibunya kembali menyusul ke hadapan sang kuasa. Ibu maretta meninggal terseret ombak laut saat ia mencari kerang hijau. Sampai saat ini jasad mayatnya belum juga diketemukan meski berbagai cara sudah ia coba sampai cara klenik yang melibatkan beberapa para normal kampung sekitar tetapi tetap saja hasilnya nol alias nihil alias tidak mendapatkan apa-apa. Dari beberapa rumor yang beredar bahwa ibu maretta disandra oleh penunggu laut yang jahat.
Berhari-hari lamanya maretta sering menghabiskan sebagian waktunya di laut, ya di laut. Maretta berfikir bahwa dengan seringnya ia menghabiskan waktunya di laut suatu ketika nanti ia bisa kembali bertemu dengan ibunya. Di hati maretta ibunya adalah orang yang paling bisa mengerti tentang sejuta perasaan yang sedang ia alami, ibunya adalah satu-satunya manusia yang bisa diajak memahami semua persoalan hidup baik yang sudah terjadi dan persoalan hidup yang sedang terjadi. Ibunya adalah wanita sabar yang tahu banyak tentang berbagai persoalan-persoalan hidup yang biasa mendera manusia.
Di sebuah sore yang cerah maretta kembali menuju ke sebuah tempat di laut. Tempat dulu yang biasa dipakai oleh ibunya untuk mencari kerang hijau, antara sadar dan tidak sadar ia seperti bertemu dengan sang ibunya yang sudah meninggal itu. Lalu dengan segenap keberanian yang tersisa maretta berusaha memanggil ibunya yang sedang berjalan tergesa menuju ke tengah-tengan laut.
“Ibu bathin itu kah engkau yang berjalan?”
“Sang ibu yang dipanggil ibu bathin itu pun menoleh ke belakang dan tersenyum dengan sangat manisnya, senyumanya paling manis dari senyum siapapun serupa gerimis yang turun dengan di dampingi pelangi yang meriah. Tetapi ia hanya tersenyum dan tak memberikan jawaban barang sepatah kata sekalipun”.
“Ibu bathin ini aku etta, aku anakmu yang setia menunggumu di laut”.
Sang ibu bathin itu, menaruh jari telunjuknya di antara tengah-tengah bibirnya seakan ia memberikan isyarat bahwa maretta tak boleh berteriak-teriak dalam kesedihan. Ibu bathin itu pun membalikkan seluruh tubuhnya lengkap dengan pakaian kain batik kembang-kembang kesukaannya dan rambut kepalanya ia sanggul rapi plus beberapa tangkai bunga melati yang terselip di sanggul kepalanya itu.
Selangkah demi selangkah ibu bathin berjalan mendekati maretta anaknya. Angin dan ombak seakan tiba-tiba saja terhenti semua dengan sendirinya. Seluruh badan etta berdebar dengan sangat kencang detak jantungnya serupa gerak kerata malam, keringat dingin bercucuran juga dengan sangat deras. Sebagian besar mukanya basah oleh keringat.
Ibu bathin pun dengan tempo yang tak berselang lama sudah berhasil menepi dekat dengan etta.
“Ibu bathin kemana aja?, ibu bathin kenapa tinggalin etta?, ibu bathin tidak kasian ya melihat etta sendiri didera kesepian dan segala hal yang tak berpihak?”
Ibu bathin kembali tersenyum tangannya merogoh dompet yang ia pegangnya lalu teraihlah sehelai sapu tangan, dengan penuh kasih kasih sayang selayaknya seorang ibu akan anaknya ia mengusap seluruh keringat dingin yang bercucuran di muka anaknya itu.Dengan beberapa kali usapan di muka etta sudah tidak lagi ada keringat yang membasahi. Kini kedua wajah itu beradu pandang di bawah bentangan langit.
“Ibu kenapa ibu bathin sekarang menjadi ibu yang pendiam?, ibu yang tak lagi ceriwis seperti ibu bathin yang dulu. Ibu yang serba heboh jika aku bertanya, ibu yang tidak hanya mengangguk saat aku ajak ngobrol tentang persoalan-persoalan hidup”.
Ibu bathin itu kembali tersenyum sorot matanya seakan menerawang jauh mengarah ke tengah lautan lepas.beberapa kali ia hanya menatap wajah anakanya yang sudah lumayan cukup lama tak lagi ditemuinya.
“Ibu apa salah etta, sampai ibu bathin rela meninggalkan etta sendirian?”
Ibu bathin kembali tersenyum dalam senyumnya kali ini, ia seakan memaparkan bahwa semua itu sangat wajar terjadi dalam hidup seorang manusia, etta seperti tersadarkan bahwa hidup yang harus dijalani ini sangat berwarna-warni kejadiannya satu hal yang juga sangat wajar terjadi dalam hidup seorang manusia. Yang terpenting dari itu semua adalah ibu bathin kembali menekankan lewat sorot matanya bahwa satu hal yang tak boleh ia lupakan keberadaanya adalah adanya sang pencipta pemilik alam semesta dan pemilih semua rahasia-rahasia atau persoalan-persoalan hidup.
“Jadi maksud ibu bathin etta tidak boleh menghindar dari seluruh kejadian ini, dan etta tidak boleh berhenti berdoa terhadap apa yang sedang etta alami ini, itu bukan hal yang gampang dan mudah untuk etta lakukan ibu bathin”
“Masih lewat sorot matanya, ibu bathin itu kembali berujar. Ya itu menjadi tanggung jawab setiapa manusia akan hidupnya”.
“Maksud ibu bathin apa?, etta belum mengerti, apa persoalan-persoalan dan kejadian per kejadian itu yang membuat kita menjadi lebih hidup untuk selanjutnya mengerti tentang arti hidup itu sendiri”.
Ibu bathin itu kembali tersenyum untuk kesekian kalinya, etta pun sekarang sudah mulai bisa mengikuti senyum sang ibu bathin. Di akhir percakapan mereka ibu bathin seperti mengatakan bahwa bila nanti telah datang waktunya ia akan mengajak anaknya itu untuk lebih memahami apa itu arti hidup dan kehidupan yang sesungguhnya. Ibu bathin itu pun bergegas pulang, etta tidak menahannya. Ibu bathin itu sesaat berdiri dan melangkah menuju ke tengah-tengah laut untuk sejenak sosoknya menghilang di terpa malam.***

Cirebon, 2009