Senin, 05 Oktober 2009

Adinda

Oleh: Mohamad Romalis


LAUT masih diwarnai deburan ombak yang berkali-kali menghantam karang, semua tampak tenang seakan-akan tak terlihat sedikitpun kecemasan yang harus bisa termiliki untuk dimiliki sebagai rasa takut, gelombang seakan dengan mudah dan begitu saja meninggalkan gulungannya di punggung dan bibir pantai, sedangkan aku kini tak lagi bisa memastikan kapan tiba waktunya agar aku bisa temukan cintaku. Cinta yang bisa aku banggakan pada ombak, cinta yang juga aku bisa banggakan pada keras karang, dan cinta yang bisa aku banggakan pada kapal-kapal yang berlabuh atau pada nelayan-nelayan yang datang sehabis melaut.
Semua terjaga bahkan selalu siap siaga, tak lagi peduli serta menghiraukan titik didih kesabaran yang semakin bergolak hanya untuk sekedar merasakan simfoni cinta yang bisa tercipta. Sebagai penyerahan hidup dan mati. Cinta sepertinya hanya air mata, berkali-kali sunyi dan sepi setia berbondong mengarak wujudnya sangat akrab, oleh karenanya sistem kekebalan tubuhku seakan telah imun untuk selalu menerima kekalahan cinta dan kekalahan demi kekalahan itu sendiri telah menumpuk menjadi banyak episode kegagalan. Episode yang terus akan aku jalani.
Dari sunyi yang hadir di luar pekarangan depan rumahku bunga kamboja berguguran jatuh ke bumi— Zo Markozo ingin sekali menjadi malaikat ingatnya. Lalu sebagai orang tua yang tidak pernah tahu keinginan anaknya, anggaplah itu adalah sebuah keinginan yang masuk akal. Lelaki tua itu hanya mengelus dada tentang kenapa anaknya itu punya keinginan pengen jadi malaikat. Tapi sebagai orang tua yang tidak ingin melukai perasaan seorang anak hanya bisa membiarkan segala ingin dan segala cita-cita anaknya karena dia tahu anaknya tidak akan mungkin bisa jadi malaikat.
***

TUBUH-TUBUH penuh semangat baja, tubuh-tubuh penuh peluh dan basah asin keringat yang telah bercampur dengan air laut semakin larut menepiskan hidup yang selalu saja tak pernah lepas dari kemiskinan. Setiap mereka bongkar hasil tangkapan dari laut selalu saja terpancar senyum juga pengharapan tak ingin berpisah, hal ini biasanyanya ditandai dengan setianya anak-anak dan istri mereka menunggu, mengharap datang sang lelaki pujaan dengan tangkapan banyak, lelaki sebagai ayah dari anak-anak dengan kebiasaan mandi dan berenang-renang di laut. Di dada anak dan istrinya baluran doa-doa tak pernah habis. Oh sungguh aku takjub.
Pada sebuah pesta laut atau sebagian orang di kampungku biasa menyebutnya Nadran, tepat di dermaga tua ini aku pernah bertemu dengan seorang perempuan cantik, di dermaga inilah aku melihatnya sangat berbeda dan khas, perempuan yang aku maksudkan tadi dalam pemikiranku sempat aku yakini sebagai salah satu penjelmaan malaikat, mungkin. Kehadirannya mengobsesiku untuk tetap menjaga cita-citaku untuk bisa jadi malaikat. Perempuan itu pula yang akhirnya membuat aku tidak pernah bisa berpaling untuk memilih cinta yang lain. Kesuraman hati tak ada lagi.
Semua yang ada padanya sanggup menyihir puncak-puncak gelisahku, ia pernah tanpa kusadari dari arah mana dia datang tiba-tiba saja menghampiriku dan menyapaku, sungguh aku tak pernah menyangkanya. Singkat kata aku berdua telah larut dengan obrolan panjang, obolan yang kerap aku rindukan karena aku yakin siapa pun akan sangat senang jika-sudah bercakap-cakap dengan nya. Aku akan senantiasa menunggunya disini ya aku yakin dengan menunggunya di dermaga tua ini ia akan kembali datang dengan kereta kencananya.
“ Nama kamu siapa.?”
“ Adinda.”
“ Rumah kamu dimana.?”
“ Rumahku di balik dasar laut.”
“ Jangan bercanda ah, aku nggak percaya masa perempuan secantik kamu rumahnya di balik dasar laut.”
“ Serius, rumahku itu di balik dasar laut.”
“ Kalau rumah kamu di balik dasar laut, aku nggak bisa main ke rumah kamu dong.”
“ Ya kalau itu belum bisa kamu lakukan, kamu nggak usah kecewa, biar aku aja yang main ke tempat kamu.”
“ Hehehe, emang kamu tahu tinggal aku dimana.?”
“ Nggak tahu.!”
“ Cari tahu dong.”
“ Di hatiku, aku hanya tahu bahwa tempat tinggal kamu mungkin di sekitar kampung sini.”
“ Iya, tapi kamu kan belum tahu di mana tempat aku sebenarnya.”
“ Dalam tajam matamu aku hanya menangkap sedikit isyarat.”
“ Isyarat.?”
“ Iya, isyarat.”
“ Isyarat tentang apa.?”
“ Isyarat tentang seorang laki-laki.”
“ Oh, laki-laki?, bagaimana kamu tahu isayarat laki-laki sedangkan kamu perempuan.?”
“ Ya justru karena aku perempuan makanya aku tahu isyarat itu. Dan itu yang ingin aku ungkapkan padamu.”
“ Apa omongan kamu bisa aku percaya.?”
“ Aku tidak pernah memaksa semua orang untuk percaya omonganku, tapi untuk kamu aku harus meyakinkan bahwa omonganku benar, sehingga tidak ada alasan untuk kamu tidak mempercayai aku.”
“ Jujur apa main-main.?”
“ Hatiku mulai merasakan yang lain dari kamu.”
“ Masih tentang isyarat.? “
“ Pasti, dalam tajam matamu pula aku masih melihat Isayarat yang jarang dimiliki oleh laki-laki.”
“ Tentang apa.?”
“ Kamu tuh ya, kenapa sih enggak terbuka aja.”
“ Terbuka tentang apa.?”
“ Sampai kapan kamu tetap bercita-cita ingin bisa jadi malaikat.?”
“ Sampai aku mampu jadi malaikat.”
“ Apa kamu yakin bisa jadi malaikat.?”
“ Masih aku coba sih.”
“ Apa pentingnya kamu pengen jadi malaikat.?”
“ Tergantung prioritas.”
“ Apa jadi malaikat, di hati dan otak kamu adalah sebuah prioritas.?”
“ Itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.”
“ Berarti kamu tidak punya obsesi lain dan hanya ingin menjadi malaikat.”
“ Aku juga ingin menjadi penulis.”
“ Penyair.?”
“ Bener, meski mungkin faktor romantis sangat jauh dari aku.”
“ Enggak ah, buat aku kamu romantis.”
“ Aku hanya ingin mewarnai hidup ini dengan sesuatu yang bener.”
“ Kamu tulis aku dalam puisi kamu.”
“ Tentu.”
“ Apa yang bisa kamu tulis dari aku.?”
“ Aku hanya menulis kamu dengan laut.”
“ Waduh kok aku dengan laut.”
“ Tentu, aku belum bisa banyak cerita soalnya masih banyak yang harus aku selesaikan lagi agar ceritanya lebih jujur bukan fiksi.”
“ Oh selera kita sama yah, kita sama-sama tidak doyan fiksi.”
“ Itu hanya salah satu pilihan saja, bukan berarti aku juga tidak terlalu suka sama yang fiksi-fiksi.”
“ Berati menurut kamu tidak selamanya yang Fiksi itu fiksi yang sesungguhnya fiksi.?”
“ Anggaplah seperti itu.”
“ Enak ya jadi penulis.?”
“ Aku belum berani bilang itu enak, aku takut.”
“ Kenapa Takut.?”
“ Semua yang aku tulis hanya persoalan yang tidak terlalu penting.”
“ Tapi mungkin bagi sebagian orang yang lain itu bisa jadi sangat penting.”
“ Mungkin, ini sangat penting khususnya buat ibuku.”
“ Loh, kenapa dengan ibu kamu.?”
“ Ibu aku ingin aku jadi penulis.”
“ Semoga ibu kamu senang melihat kamu sekarang.”
“ Semoga.”
“ Aku yakin kalau kamu bisa membahagiakan ibu kamu dengan kamu jadi penulis.”
“ Persoalannya sangat sulit sekarang.”
“ Kenapa sulit kan kamu sudah bisa jadi apa yang diinginkan oleh ibu kamu.”
“ Aku kehilangan ibuku.”
“ Ibu kamu hilang dimana.?”
“ Katanya sih beliau tenggelam di laut.”
“ Masa.?”
“ Iya. Tolong ya kalau kamu ketemu dengan perempuan yang wajahnya mirip dengan aku itu adalah ibuku.”
“ Apa ciri-ciri khusus ibu kamu.?”
“ Ibuku, tangannya sangat halus, kulitnya putih bersih, dan ia memiliki dua bola mata yang indah.”
“ Apa warna rambutnya.?”
“ Hitam.”
“ Siapa nama ibu kamu.”
“ Aryati.”
“Loh kok sama dengan nama ibuku.”
“ Kamu bawa photonya.?”
“ iya.”
Ternyata perempuan yang sedang dalam percakapan mereka adalah perempuan yang sama. Perempuan yang telah menjadi ibu mereka. Perempuan yang tangannya halus, perempuan dengan kulit putih bersih dan perempuan yang pastinya memiliki dua bola mata yang indah. Aku juga tidak mau lupa bahwa perempuan itu juga memiliki rambut yang sangat bagus karena hitam warnanya.perempuan itu pernah muncul dari dasar laut terdalam.


Bintaro, Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar