Senin, 05 Oktober 2009

Luna, Permen dan Chocolate

Oleh: Mohamad Romalis

DI SUNYI yang kesekian, hatiku serupa permen karet yang sedang berada dalam mulutmu yang teduh dan engkau terus mengunyah permen karet itu. Diawali dengan bibir tipis, lalu masuk ke susunan gigi-gigi penuh cahaya juga lidah yang senantiasa sesekali terjulur jungkir balik bak pemain circus sebagai bahasa cinta bagi banyak kehidupan. Mungkin juga sepi dan kesunyian yang diam-diam bersanding dalam padu padan cinta menjelang musim hujan kembali hadir. Serangkaian musik jazz dari mulai Frank Sinatra hingga Jamie Cullum tetap dingin menghuni hati yang kerap dilanda sepi, itulah hatiku kini. Sepi yang selalu kau bilang hanya sekian persen, padahal sepi itu ada dan benar-benar hadir.
Jauh di luar dugaan tepat di sebuah sore yang dinanti tiba-tiba hujan turun membasahi tanah tempat silamor berpijak mengikuti kemana raga membawa jejak kaki juga hasrat penantian cintanya. Bertemankan anjing pudel dengan bulu warna coklat susu Silamor memandang hujan padat berjatuhan: sempurna membasahi rumah, membasahi gedung-gedung, membasahi anak-anak pengojek payung, membasahi teras cafe dan rintik hujan itu diam-diam mulai membasahi hatinya yang sangat kesepian demi sebuah penantian. Engkau menyebutnya nyanyian.
Silamor adalah lelaki dengan tingkat kesetian di atas rata-rata dan ia selalu menjaga kesetiaannya itu. Dikisahkan perempuan yang pernah mencintainya telah lama pergi entah kemana, tapi dengan segenap kesabarannya ia terus menunggu, menunggu dan menunggu meski dari beberapa kabar yang ia terima dari orang-orang terdekatnya, pacar yang ditunggunya itu sudah meninggal. Meski perempuan yang dimaksud ternyata disinyalir telah lama mati tidak lama saat ia bekerja di toko mainan karena siksaan sang majikan yang tak terdeteksi oleh apapun. Tapi Silamor adalah Silamor dia hanya akan percaya kalau pacarnya sudah mati jika ia sudah melihat mayat atau jasadnya, bahkan kalau pacarnya sudah dikubur minimal ia bisa melihat sebentuk pusara pacarnya itu ada.
***
SEORANG pelayan cafe menghampiri Silamor yang sedang duduk sendirian pada sebuah sore yang teduh.Sementara hujan masih berjatuhan. Anjing pudelnya terus bergerak lincah sambil tak letihnya menggonggong seperti membangunkan mimpi dalam tidur. Suaranya berloncat bagai spiderman dari satu gedung ke gedung lain bahkan mungkin tembus sampai ketempat paling sunyi sekalipun. Anjing inilah salah satu teman Silamor paling setia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
“Maaf pak Silamor apa bapak tidak takut dengan halilintar yang menyambar-nyambar dari luar sana?, kalau bapak tidak keberatan bapak bisa masuk ke dalam cafe kami” bujuk sang pelayan itu, tak lama berselang bibir tipisnya tersaji untuk silamor, hangat senyumnya juga menghinggapi sepi.
“Oh terima kasih biar saya disini saja, saya suka akan halilintar di luar sana”.
“Tapi di sini tampias air hujan juga bisa membasahi badan bapak, saya tidak ingin langganan saya jatuh sakit karena kena hujan”.
Silamor hanya terdiam disertai senyum simpul kecil dengan ajakan pelayan yang sudah diketahui bernama Luna sejak ia awal mula bekerja, sebuah nama dengan bordiran menempel di bagian dada kiri perempuan itu. Dalam hati Silamor hujan dan halilintar adalah teman setia sekaligus tempat yang sarat akan banyak cerita dalam bingkai kenangan.
“Kenapa bapak tersenyum, apa ada yang salah dengan omongan saya?, kalau saya salah saya lebih dulu meminta maaf”. Luna tertunduk.
“Kamu tidak perlu meminta maaf untuk sebuah ketidaktahuan yang buat saya itu bukan sebuah kesalahan, pertanyaan kamu adalah sebuah kewajaran”.
Silamor bangkit dari tempat duduknya, matanya menatap lurus ke arah luar cafe anjing pudelnya pun mulai mengikuti kemana saja Silamor berjalan dan bergerak. Begitu pun juga dengan Luna perempuan yang cukup sabar melayani setiap para pelanggan yang datang.
“Lihat Luna, lihat dengan matamu dalam-dalam di luar sana. Lihatlah dengan kejernihan hati yang kamu punya, gerimis itu sungguh manis terasa, gerimis itu selalu membawaku pada jalan fikiran beberapa tahun yang lalu, saat jalan fikiranku hanya aku peruntukkan bagi Sandra”.
“Iya pak, gerimis itu manis ya? Bahkan lebih manis dari gula rendah kalori, Sandra itu siapa pak?”
“Kamu jangan banyak bertanya dulu coba kamu rasakan cerita ini dengan seksama dan sunguh-sungguh. Di gerimis itu ada hidup yang terus merayapi denyut nadi, gerimis itu mulai menyentuh semua dan apa saja yang hidup juga semua dan apa saja yang mati”.
Luna mulai larut dengan ajakan Silamor yang sedikit demi sedikit mulai ia rasakan kebenaran omongan-omongannya.
“Benar pak, apa yang bapak katakan itu benar. Saya mulai melihat banyak permen berjatuhan dari gerimis di luar sana. Bahkan juga ada banyak chocolate, wah kenapa tidak dari dulu yah saya tahu bahwa gerimis itu manis rasanya”.
Silamor tersenyum, entah kenapa Luna juga seakan tidak mau pergi menemani silamor yang seakan telah memikat hatinya dan rasanya sangat sayang kalau harus ditinggalkan sendirian, Luna pun kadang juga ikut tersenyum. Silamor tiba-tiba menjelma seperti seorang yang sangat tak terduga kedatangannya dari negeri mana ia hadir Luna tidak mengetahuinya, Silamor dengan ceritanya tentang hujan telah mendapatkan tempat khusus dan tersendiri di hati Luna.
“Ayah saya telah menceraikan ibu saya sejak saya masih berumur satu tahun, perasaan saya sekarang sangat berbanding terbalik dengan saat itu. Saya tidak pernah tahu manisnya permen, saya tidak pernah tahu nikmatnya chocolate padahal setelah saya kenal bapak saya bisa dengan bebas merasakan manis gerimis melebihi manisnya permen bahkan permen yang paling saya anggap paling enak sekalipun juga nikmatnya chocolate”.
“Kok bisa kamu kurang makan permen dan chocolate?” tanya silamor.
“hehehe....harga permen menurut ibu saya sangatlah mahal jadi lebih penting jika uangnya dibeliin beras saja daripada dibeliin permen atau chocolate, sejak bapak pergi ibu hidup sendiri sampai sekarang ia belum mau menikah lagi”.
“Oh, sampai segitunya yah, aku tidak bisa membayangkan kalau di dunia ini tak ada gerimis?”
“Memangnya kenapa kalau tak ada gerimis?”
“Ya gak apa-apa cuma pastinya akan banyak orang yang kehilangan rasa akan permen juga chocolate jika gerimis tak turun dan tentunya hidup yang ia jalani pun sangatlah jauh dari kata bahagia”.
“Masa sih pak?, apa semua orang yang melihat gerimis bisa merasakan manisnya permen atau chocolate seperti beningnya air telaga damai?”
“Oh iya aku lupa, aku lupa mengatakan padamu Luna bahwa tidak semua orang yang melihat gerimis bisa merasakan manisnya permen serta nikmatnya chocolate”.
“Kok bisa tidak semua orang merasakan manisnya gerimis pak?”
“Iya hanya orang-orang yang berhati jujur saja yang bisa merasakan manisnya gerimis, sekarang aku baru tahu bahwa salah satu orang jujur yang terpilih itu adalah kamu Luna”.
Luna tak bisa ngomong apa-apa, tatapan mata Silamor menatap tajam ke arah bola mata Luna, Luna terus mengamati gerimis yang masih terus berjatuhan.
***
ADA banyak kata yang hilang saat Luna menatap gerimis yang telah berubah menjadi hujan yang sangat deras, badannya basah, begitu juga Silamor dan anjing pudelnya. Dalam hujan yang kian semakin lebat Luna ingat akan ibunya yang juga belum tahu akan enaknya permen juga chocolate, ia berlari meninggalkan cafe tempatnya bekerja sambil mengenggam permen dan chocolate yang ia punguti dari hujan yang semakin deras. Hujan dan air mata Luna menyatu menjadi satu.
Sementara Silamor kini sendiri lagi, Silamor adalah lelaki dengan tingkat kesetian yang di atas rata-rata ia terus menanti kekasihnya yang biasa ia panggil dengan sebutan Sandra, sambil berbisik di dalam hatinya Silamor tidak lupa bahwa Sandra juga senang dan suka akan permen juga chocolate dari hujan yang masih turun Silamor memungut beberapa permen dan chocolate yang akan ia simpan, kelak ia akan memberikan permen dan chocolate itu pada Sandra, kekasih hatinya.***

Cirebon, juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar