Senin, 05 Oktober 2009

Memahami Arti Hidup

Oleh : Mohamad Romalis

PADA SISA SENYUMAN dan kenangan yang terbakar, maretta sesaat ingin memajamkan matanya namun sepertinya sejuta rasa yang dulu pernah ada kerap mengganggu pejam matanya walau hanya sedetikpun. Jiwanya sekarang tengah di penuhi oleh bayak perasaan tak menentu yang terus datang melintas. Gemercik suara air pancuran dari belakang rumahnya terus mengukir pedih yang sampai sekarang masih menjadi kenangan terburuk.
Percobaan perkosaan pernah didapatkannya dan yang membuat trauma itu tak pernah usai sampai saat ini adalah mahluk bejat itu tak lain adalah sang kakak ipar yang telah menjadikan kakaknya sebagai istrinya. Maretta tidak pernah berfikir kenapa itu semua bisa terjadi dan datang begitu saja menimpa dirinya meski akhirnya dengan teriakan yang disuarakan dari mulutnya ia berhasil lolos dari uji coba yang hampir saja membuatnya kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupnya.
Ayah maretta meninggal tertabrak kereta api saat iya melintas di lintasan kereta api yang tak berpalang atau tak berpenutup. Kepalanya terseret sampai lebih dari limaratus meter, seluruh anggota badanya rusak hancur dan tak lagi bisa tertata seluruh penduduk kampung tempat ia tinggal pernah membantu mencari kepala bapaknya setelah sehari semalam barulah diketemukan kepalanya di salah satu semak belukar dengan posisi mata yang menyeringai seakan ia merasakan satu sakit yang teramat sangat luar biasa.
Tak lama sesudah kejadian itu sekitar kurang dari empat puluh hari setelah kematian ayahnya, ibunya kembali menyusul ke hadapan sang kuasa. Ibu maretta meninggal terseret ombak laut saat ia mencari kerang hijau. Sampai saat ini jasad mayatnya belum juga diketemukan meski berbagai cara sudah ia coba sampai cara klenik yang melibatkan beberapa para normal kampung sekitar tetapi tetap saja hasilnya nol alias nihil alias tidak mendapatkan apa-apa. Dari beberapa rumor yang beredar bahwa ibu maretta disandra oleh penunggu laut yang jahat.
Berhari-hari lamanya maretta sering menghabiskan sebagian waktunya di laut, ya di laut. Maretta berfikir bahwa dengan seringnya ia menghabiskan waktunya di laut suatu ketika nanti ia bisa kembali bertemu dengan ibunya. Di hati maretta ibunya adalah orang yang paling bisa mengerti tentang sejuta perasaan yang sedang ia alami, ibunya adalah satu-satunya manusia yang bisa diajak memahami semua persoalan hidup baik yang sudah terjadi dan persoalan hidup yang sedang terjadi. Ibunya adalah wanita sabar yang tahu banyak tentang berbagai persoalan-persoalan hidup yang biasa mendera manusia.
Di sebuah sore yang cerah maretta kembali menuju ke sebuah tempat di laut. Tempat dulu yang biasa dipakai oleh ibunya untuk mencari kerang hijau, antara sadar dan tidak sadar ia seperti bertemu dengan sang ibunya yang sudah meninggal itu. Lalu dengan segenap keberanian yang tersisa maretta berusaha memanggil ibunya yang sedang berjalan tergesa menuju ke tengah-tengan laut.
“Ibu bathin itu kah engkau yang berjalan?”
“Sang ibu yang dipanggil ibu bathin itu pun menoleh ke belakang dan tersenyum dengan sangat manisnya, senyumanya paling manis dari senyum siapapun serupa gerimis yang turun dengan di dampingi pelangi yang meriah. Tetapi ia hanya tersenyum dan tak memberikan jawaban barang sepatah kata sekalipun”.
“Ibu bathin ini aku etta, aku anakmu yang setia menunggumu di laut”.
Sang ibu bathin itu, menaruh jari telunjuknya di antara tengah-tengah bibirnya seakan ia memberikan isyarat bahwa maretta tak boleh berteriak-teriak dalam kesedihan. Ibu bathin itu pun membalikkan seluruh tubuhnya lengkap dengan pakaian kain batik kembang-kembang kesukaannya dan rambut kepalanya ia sanggul rapi plus beberapa tangkai bunga melati yang terselip di sanggul kepalanya itu.
Selangkah demi selangkah ibu bathin berjalan mendekati maretta anaknya. Angin dan ombak seakan tiba-tiba saja terhenti semua dengan sendirinya. Seluruh badan etta berdebar dengan sangat kencang detak jantungnya serupa gerak kerata malam, keringat dingin bercucuran juga dengan sangat deras. Sebagian besar mukanya basah oleh keringat.
Ibu bathin pun dengan tempo yang tak berselang lama sudah berhasil menepi dekat dengan etta.
“Ibu bathin kemana aja?, ibu bathin kenapa tinggalin etta?, ibu bathin tidak kasian ya melihat etta sendiri didera kesepian dan segala hal yang tak berpihak?”
Ibu bathin kembali tersenyum tangannya merogoh dompet yang ia pegangnya lalu teraihlah sehelai sapu tangan, dengan penuh kasih kasih sayang selayaknya seorang ibu akan anaknya ia mengusap seluruh keringat dingin yang bercucuran di muka anaknya itu.Dengan beberapa kali usapan di muka etta sudah tidak lagi ada keringat yang membasahi. Kini kedua wajah itu beradu pandang di bawah bentangan langit.
“Ibu kenapa ibu bathin sekarang menjadi ibu yang pendiam?, ibu yang tak lagi ceriwis seperti ibu bathin yang dulu. Ibu yang serba heboh jika aku bertanya, ibu yang tidak hanya mengangguk saat aku ajak ngobrol tentang persoalan-persoalan hidup”.
Ibu bathin itu kembali tersenyum sorot matanya seakan menerawang jauh mengarah ke tengah lautan lepas.beberapa kali ia hanya menatap wajah anakanya yang sudah lumayan cukup lama tak lagi ditemuinya.
“Ibu apa salah etta, sampai ibu bathin rela meninggalkan etta sendirian?”
Ibu bathin kembali tersenyum dalam senyumnya kali ini, ia seakan memaparkan bahwa semua itu sangat wajar terjadi dalam hidup seorang manusia, etta seperti tersadarkan bahwa hidup yang harus dijalani ini sangat berwarna-warni kejadiannya satu hal yang juga sangat wajar terjadi dalam hidup seorang manusia. Yang terpenting dari itu semua adalah ibu bathin kembali menekankan lewat sorot matanya bahwa satu hal yang tak boleh ia lupakan keberadaanya adalah adanya sang pencipta pemilik alam semesta dan pemilih semua rahasia-rahasia atau persoalan-persoalan hidup.
“Jadi maksud ibu bathin etta tidak boleh menghindar dari seluruh kejadian ini, dan etta tidak boleh berhenti berdoa terhadap apa yang sedang etta alami ini, itu bukan hal yang gampang dan mudah untuk etta lakukan ibu bathin”
“Masih lewat sorot matanya, ibu bathin itu kembali berujar. Ya itu menjadi tanggung jawab setiapa manusia akan hidupnya”.
“Maksud ibu bathin apa?, etta belum mengerti, apa persoalan-persoalan dan kejadian per kejadian itu yang membuat kita menjadi lebih hidup untuk selanjutnya mengerti tentang arti hidup itu sendiri”.
Ibu bathin itu kembali tersenyum untuk kesekian kalinya, etta pun sekarang sudah mulai bisa mengikuti senyum sang ibu bathin. Di akhir percakapan mereka ibu bathin seperti mengatakan bahwa bila nanti telah datang waktunya ia akan mengajak anaknya itu untuk lebih memahami apa itu arti hidup dan kehidupan yang sesungguhnya. Ibu bathin itu pun bergegas pulang, etta tidak menahannya. Ibu bathin itu sesaat berdiri dan melangkah menuju ke tengah-tengah laut untuk sejenak sosoknya menghilang di terpa malam.***

Cirebon, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar